Kontrol Buruh Dalam Lintasan Sejarah
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)
Ours to Master and to OwnJudul buku: Ours To Master And To Own: Workers’ Control From The Commune To The Present
Penulis: Immanuel Ness dan Dario Azzellini (Ed.)
Penerbit: Haymarket Books, 2011
KETIKA krisis ekonomi meledak di Amerika Serikat (AS) pada 2007, di kalangan kiri serentak muncul perdebatan seru di dua ranah: pertama, perdebatan mengenai sebab-musabab terjadinya krisis; dan kedua, bagaimana solusi terhadap penyelesaian krisis ini. Pada yang pertama, krisis ini kembali membuka perdebatan lama mengenai penyebab krisis antara pendekatan konsumsi kurang (underconsumption/stagnation), pendekatan jatuhnya tingkat keuntungan (the falling rate of profit), pendekatan struktur sosial akumulasi (social structure of accumulation/SSA), dan pendekatan mengenai dampak dari persaingan internasional (foreign competition).
Pada level perdebatan kedua, juga tak kalah seru. Jika kapitalisme adalah sumber dari krisis, maka jalan satu-satunya untuk keluar dari krisis ini adalah dengan menghancurkan kapitalisme itu sendiri. Tapi, bagaimana agar kesimpulan teoritik ini punya implikasi praktikal? Ekonom Richard D. Wolff mengatakan, sepanjang sejarah krisis ekonomi di AS, yang selalu terjadi adalah penyelesaian krisis diserahkan kepada pemerintah, entah itu melalui kebijakan Keynesian atau melalui kebijakan Neoliberal. Pada dua kebijakan ini, pada akhirnya yang diuntungkan adalah borjuasi sebagai sebuah kelas. Karena itu bagi Wolff, satu-satunya cara agar rakyat pekerja tidak kembali menjadi korban dari krisis, pada proses pemulihan krisis dan pasca krisis nantinya, adalah melalui demokratisasi hubungan kerja di tingkat perusahaan. Pertanyaannya, seperti apa demokratisasi hubungan kerja di tingkat perusahaan itu?
Menjawab pertanyaan itu, buku yang dieditori Immanuel Ness dan Dario Azzellini ini hadir pada saat yang tepat. Buku ini memaparkan kekayaan praktek yang pernah terjadi berkaitan dengan demokratisasi hubungan kerja tersebut. Melalui buku ini, kita tahu bahwa praktek ekonomi di luar sistem kapitalisme (dalam bahasa populer dikenal sebagai sistem ekonomi pasar), bukanlah sebuah utopia. Bab I buku ini memaparkan peta historis dan perdebatan teoritik mengenai dewan buruh (workers’ councils): bab II membicarakan soal dewan buruh dan pemerintahan sendiri (self-administration) di masa revolusi, yang mengambil setting awal abad ke-20; bab III mengulas soal kontrol buruh (workers’ control) di bawah pemerintahan negara-negara sosialis; bab VI, berkisah soal perjuangan anti-kolonial, revolusi demokratik dan kontrol buruh; bab V, menelaah soal kontrol buruh melawan restrukturisasi kapitalis di abad ke-20; dan terakhir bab VI, membahas soal kontrol buruh dalam periode 1990-2010.
Commune de Paris
Perspektif teoritik
Sebagai sebuah buku kumpulan tulisan dengan beragam perspektif maka untuk memahami lebih utuh buku ini, saya ingin terlebih dahulu memaparkan mengenai pentingnya kontrol buruh dalam proses produksi, tidak hanya sebagai sebuah kategori moral belaka, tapi sebagai sebuah proses ekonomi politik. Dengan demikian, aksi-aksi buruh dalam melawan kapitalisme harus dilihat bukan sebagai kategori moral, bahwa buruh menuntut haknya yang telah dirampas oleh kapitalis yang rakus, melainkan sebagai sebuah kebutuhan mendasar jika rakyat pekerja ingin kehidupannya ditentukan oleh dirinya sendiri.
Untuk itu, saya akan menelaah secara singkat pengertian tentang kapitalisme dan selanjutnya melihat implikasi praktikalnya. Kapitalisme adalah sebuah sistem hubungan produksi yang tujuan utamanya adalah akumulasi keuntungan tanpa batas (unending accumulation of profit). Dan bagi seorang kapitalis, kata Karl Marx, ‘Ekspansi nilai ….menjadi tujuan subyektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat sebagai tujuan utama seorang kapitalis.’
Cara kerja hubungan produksi kapitalis ini, secara matematis diformulasikan oleh Marx sebagai:
Formula ini disebut Marx sebagai medan Sirkuit atau Sirkulasi Kapital. Misalnya, seorang kapitalis membelanjakan uangnya (M) sebesar Rp. 1.000., untuk membeli sepasang sepatu (C) dan kemudian menjualnya kembali di pasar sebesar Rp. 1.100,- (M’). Dari sirkulasi ini, si kapitalis memperoleh keuntungan atau surplus value (nilai lebih) sebesar Rp. 100,- (selisih antara M dan M’). Tapi, si kapitalis tidak akan berhenti atau keluar dari sirkuit kapital hanya ketika ia telah memperoleh keuntungan sebesar Rp.100 (M’) itu, sebaliknya ia ingin terus memperbesar jumlah keuntungan tersebut menjadi Rp. 200., Rp, 400., ,dst, dst. Dan proses seperti ini terjadi dalam sebuah sirkuit yang diikuti oleh begitu banyak kapitalis yang terhubung satu sama lain melalui benda-benda yang dipertukarkan di pasar. Si kapitalis baru akan keluar dari medan sirkulasi kapital ini ketika tingkat keuntungan yang diperolehnya terus menurun hingga akhirnya hilang.
Sehingga, bukan keserakahan atau kecerdasan si kapitalis yang membuat sistem ini terus bekerja, melainkan sistem inilah yang membuat si kapitalis mau tak mau harus terus-menerus mencari cara dan metode terbaik untuk bisa mengakumulai semakin banyak keuntungan tanpa batas.
Pertanyaannya kemudian, darimana tingkat keuntungan (M’) itu diperoleh? Kembali ke formula M–>C–>M, Marx mengatakan bahwa ketika si kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli komoditi (C) maka komoditi yang dibelinya itu adalah alat-alat produksi (means of production/MP) dan tenaga kerja (labor power/LP). Hanya dengan adanya kedua jenis komoditi inilah baru kemudian si kapitalis bisa menghasilkan komoditi (C’) yang nantinya dijual di pasar untuk menghasilkan M’. Maka sirkuit kapital itu bertransformasi menjadi:
Dari proses ini, kita lihat bahwa dalam kapitalisme nilai sebuah komoditi terdiri atas tiga komponen: pertama, nilai yang tercermin pada bahan-bahan baku (raw material) dan mesin yang akan digunakan dalam proses produksi; kedua, nilai yang menggantikan nilai tenaga kerja buruh (yakni nilai yang ditentukan oleh komponen pertama di atas); dan ketiga, nilai lebih yang dihasilkan oleh tenaga kerja buruh. Ekonom M.C. Howard dan J.E. King, dalam buku mereka The Political Economy of Marx (1985) mengatakan, dari sudut pandang sirkulasi kapital komponen pertama itu disebut kapital tetap (constant capital (c) atau dead/stored labour), sementara komponen kedua disebut kapital variabel (variable capital atau living labour (v)), dimana kapitalis membeli tenaga kerja untuk menghasilkan komoditi baru yang bisa dijual di pasar agar memperoleh keuntungan yang semakin besar, yakni komponen ketiga tadi. Karena itu, komponen ketiga disebut nilai lebih atau surplus value (s), yang dimiliki oleh kapitalis. Dengan demikian, nilai sebuah komoditi, apakah itu komoditi individual atau komoditi yang berhubungan satu sama lain atau bahkan sistem ekonomi keseluruhan, bisa diformulasikan menjadi:
Tetapi, Marx tidak berhenti pada variabel kapital untuk menjelaskan bagaimana nilai lebih itu tercipta. Lebih detil ia mengatakan dalam produksi itu nilai yang diciptakan oleh tenaga kerja buruh ditentukan oleh kuantitas jumlah kerja atau waktu kerja buruh dalam periode waktu tertentu. Misalnya, dalam satu hari kerja kapitalis mempekerjakan buruh selama 8 jam kerja, padahal untuk menghasilkan sebuah produk hanya dibutuhkan waktu selama 4 jam kerja, sehingga terdapat kelebihan waktu 4 jam kerja. 4 jam kerja pertama, oleh Marx disebut sebagai paid labor yang tercermin dalam bentuk upah (wage). Pada empat jam pertama ini, buruh bekerja untuk dirinya sendiri. Jadi ketika kapitalis membayar upah buruh sehari sebesar Rp. 10.000 per jam (Rp. 80.000/hari), maka sesungguhnya upah sebesar Rp. 80.000,- itu hanya senilai 4 jam kerja sehari. Sementara, 4 jam sisanya si buruh tidak dibayar oleh si kapitalis dimana Marx menyebutnya sebagai unpaid labor. Inilah waktu kerja yang menghasilkan surplus value (nilai lebih) yang dinikmati oleh kapitalis, dan karena itu pada empat jam kedua ini disebutkan bahwa buruh bekerja untuk si kapitalis (Filho, 2003). Howard & King menggambarkan prosedur ini dalam bagan berikut:
Dari proses ini tampak dua hal yang unik. Pertama, semenjak buruh terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis di pasar kerja, maka semua kerja adalah kerja paksa. Tak heran jika kemudian Marx berkomentar bahwa buruh dalam industri modern sejatinya adalah seorang budak, yakni budak upah (wage slave); kedua, sesuatu yang bermula dari proses pertukaran yang setara kemudian memproduksi ketidaksetaraan. Transaksi antara buruh dan kapitalis di pasar kerja sesungguhnya berlangsung setara: yang satu menjual tenaga kerjanya sementara yang lain adalah pembelinya. Sebelum kedua belah pihak terlibat dalam proses produksi, keduanya bersepakat bahwa si kapitalis akan mempekerjakan si buruh dengan gaji sekian. Tetapi karena buruh tidak memiliki alat-alat produksi selain tenaga kerjanya, maka dalam proses produksi hubungan keduanya berlangsung secara eksploitatif. Agar keuntungan (nilai lebih) yang diperoleh kapitalis semakin besar, maka ia akan terus berusaha agar waktu kerja buruh yang tidak dibayar (unpaid labor) semakin besar ketimbang paid labour. Modusnya bisa melalui perpanjangan waktu kerja atau dengan meningkatkan penggunaan mesin-mesin baru dan hukum-hukum kerja baru agar produktivitas buruh semakin meningkat pada kurun waktu yang tetap, sembari tetap menekan tingkat upah serendah mungkin. Pada sisi buruh, agar tingkat kehidupannya semakin membaik maka yang harus dilakukannya adalah terus memperbesar kuantitas paid labor dihadapan unpaid labor, misalnya dengan menuntut perbaikan tingkat upah, keselamatan dan kenyamanan tempat kerja, atau keuntungan lainnya seperti jaminan asuransi kesehatan dan hari tua. Bentuk perlawanan buruh ini muncul dalam beragam wujudnya, mulai dari perusakan alat-alat produksi, demonstrasi jalanan, mogok kerja, hingga pengambilalihan pabrik. Secara matematik derajat eksploitasi (rate of exploitation/rs) menjadi:
Kontrol buruh
Dari perspektif teoritik di atas, bisa disimpulkan bahwa eksploitasi dalam proses produksi merupakan hal yang inheren dalam sistem kapitalisme. Atau dengan kata lain, sistem ini hanya akan eksis jika modus eksploitasi (mode of exploitation) itu terus berlangsung. Dalam bahasa ekonom Alfredo Saad-Filho, ‘Kelas kapitalis harus mengeksploitasi buruh mereka jika mereka ingin tetap berada dalam bisnis ini; kelas pekerja harus setuju ekspoitasi itu agar mereka bisa memenuhi kebutuhan mendesaknya; dan dengan demikian eksploitasi adalah minyak yang menggerakkan produksi dan pertukaran kapitalis.’ Karena itu, eksploitasi ini bukanlah sebuah perkara moral melainkan merupakan hal yang esensial dan sistematis melekat dalam corak produksi kapitalis. Kalau dibaca terbalik, eksploitasi tidak lain adalah refleksi dari perjuangan kelas. Semakin posisi kelas kapitalis kuat dihadapan kelas buruh, maka semakin besar pula derajat eksploitasi yang dilakukan terhadap buruh. Jika kekuatan kelas buruh kuat dan terorganisir, maka ia bisa melawan atau bahkan menghapuskan modus eksploitasi kapital tersebut.
Workers' ControlPada titik inilah keseluruhan argumentasi dalam buku ini mengenai kontrol buruh, dewan buruh, atau bahkan pemerintahan buruh bisa diterima. Dari berbagai studi kasus yang terekam, buku ini berargumen bahwa aksi-aksi kelas buruh dalam menuntut perbaikan hidupnya harus melampaui kepentingan terbatas dan mendesak mereka, seperti perbaikan tingkat upah dan kondisi kerja. Buku ini juga menunjukkan bahwa aksi-aksi kelas buruh yang menuntut perbaikan kondisi kerja tidak mencukupi dalam usahanya menuntut perbaikan tingkat kehidupannya. Sebab, aksi dan tuntutan itu mengandaikan bahwa kelas kapitalis akan bersedia memenuhi tuntutan tersebut sembari mengorbankan kepentingan kelasnya. Satu hal yang mustahil dipenuhi oleh kelas kapitalis. Beragam studi kasus dalam buku ini menunjukkan bahwa aksi-aksi yang terkait kondisi kerja (normatif) harus dikombinasikan dengan aksi-aksi yang secara langsung menyerang sistem kepemilikan borjuis seperti aksi pendudukan pabrik, pengambilalihan alat-alat produksi, dan selanjutnya kontrol terhadap proses produksi dan distribusi.
Yang lebih menarik, buku ini berargumen bahwa nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta yang diikuti dengan penghapusan kepemilikan pribadi oleh negara, tidak menjadi jaminan bahwa rantai eksploitasi kapital atas buruh akan lenyap dengan sendirinya. Sebagaimana ditulis Rafael Enciso Patiño, nasionalisasi (statization) tidaklah sama dengan sosialisasi, karena nasionalisasi tidak lebih dari kekuasaan para administrator negara tanpa kontrol yang cukup dari buruh dan organisasi-organisasi sosial, dan tanpa partisipasi langsung kelas buruh dalam pengambilan-pengambilan keputusan yang mendasar maka birokrasi, korupsi, dan eksploitasi akan kembali muncul tanpa bisa dielakkan. Dengan demikian, apa yang mesti dilakukan kelas buruh adalah memutus lingkaran rantai eksploitasi kapital tersebut melalui kontrol buruh atas proses produksi.
Kesimpulan ini berakar pada pemikiran bahwa ‘nyawa’ dari sistem kapitalisme ini terletak pada hubungan produksinya (production relation), bukan pada hubungan pertukaran (exchange relation). Dan seperti yang telah kita lihat di atas, pada proses produksi itulah modus eksploitasi ini berlangsung secara terbuka dan penuh kekerasan. Tanpa menghapuskan modus eksploitasi dalam proses produksi, maka tidak mungkin kelas buruh menghapuskan eksploitasi dalam sistem sosial secara keseluruhan. Dan walaupun secara legal/prosedural kita telah menganut sistem politik yang demokratis, tapi tanpa adanya demokratisasi dalam proses produksi maka demokrasinya bersifat terbatas, prosedural, dan karena itu elitis. Hal lainnya, dalam hubungan buruh-kapital yang eksploitatif itu, terkandung makna bahwa yang paling berkepentingan untuk melawan kapitalisme adalah sekelompok orang yang terlibat langsung dalam proses produksi yang bersifat eksploitatif tersebut, yakni kelas buruh. Sehingga, walaupun perjuangan melawan kapitalisme bisa melibatkan beragam orang dan bentuk-bentuk perjuangannya bervariasi (anti-imperialisme, perlawanan terhadap penindasan atas dasar ras, jender, dan seksualitas, dsb), namun hanya kelas pekerjalah yang paling memenuhi kriteria konsisten dalam melawan kapitalisme (p. 32).
Yang menarik, buku ini mengatakan dan juga menunjukkan setumpuk fakta-fakta empiris dimana kontrol buruh atas perusahaan dan pembentukan dewan buruh untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan di tingkat pabrik, sangat sering bertabrakan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan serikat buruh, partai sosialis atau komunis, dan juga negara yuang mengklaim dirinya berpihak kepada kepentingan kelas buruh. Seperti ditulis Ness dan Azzellini, dalam banyak contoh sejarah, kontrol buruh berlangsung secara spontan sebagai hasil dari perjuangan kelas buruh melawan kelas kapitalis. Pembentukan dewan buruh dan koperasi itu lebih merupakan murni ekspresi dan manifestasi dari kepentingan material dan historis mereka sendiri. Bahkan, seringkali pemerintahan kolektif melalui dewan-dewan buruh itu muncul tanpa adanya pengalaman sebelumnya yang bisa dijadikan rujukan (p. 1). Akibatnya, serikat buruh yang beroperasi dalam kerangka kerja pemerintah, atau serikat buruh yang telah terbirokratisasi, seperti dalam kasus serikat buruh AS, tidak memiliki kepentingan untuk mempromosikan perjuangan buruh yang otonom, sejak yang disebut perjuangan itu harus senantiasa berkaitan dengan struktur dan aturan-aturan serikat buruh tradisional. Demikian juga sebagian besar kaum kiri, partai sosialis dan komunis tidak akan mempromosikan kontrol buruh, jika hal itu dianggap menantang pentingnya peran partai (p. 1-2).
Saya menganggap poin yang dikemukakan Ness dan Azzellini ini sangat penting untuk dijadikan bahan diskusi di kalangan aktivis dan intelektual buruh di Indonesia. Argumen saya, sebuah perjuangan anti kapitalisme tidak mungkin hanya membatasi dirinya pada perjuangan di tingkat pabrik, tapi ia mesti mencakup perjuangan yang lebih luas lagi, yakni perjuangan politik dan ideologi. Memang benar bahwa perjuangan buruh untuk pengambilalihan pabrik, pembentukan dewan-dewan buruh, kontrol buruh, dst. itu bisa berlangsung dalam sistem kapitalisme, karena misalnya, adanya situasi revolusioner saat itu. Tapi, sebagaimana ditunjukkan dalam buku ini, tanpa dukungan partai dan serikat-serikat buruh radikal, maka aksi-aksi spontan itu tidak akan bertahan lama. Di samping itu, selama negaranya adalah negara kapitalis, maka mustahil pengambilalihan pabrik dan kontrol buruh atas perusahaan bisa ditoleransi. Sehingga itu, berkaca pada kegagalan aksi-aksi buruh Italia pada 1919-1920, Gramsci dan Palmiro Togliatti menyimpulkan bahwa tanpa adanya kepemimpinan dari partai komunis, partai yang dibangun untuk kepentingan kelas pekerja dan sebagai partai revolusioner, maka mustahil perjuangan untuk menghancurkan rejim kapitalis terwujud (p. 77).
Melampui logika kapital
Hal menarik lainnya yang terungkap dalam buku ini, bahwa di dalam rezim komunis atau sosialis, kontrol buruh atas alat-alat produksi, keterlibatan langsung buruh atau dewan buruh dalam proses pengambilan keputusan di tingkat perusahaan tidak berlangsung lancar.
Ada dua kasus yang menarik ditunjukkan dalam buku ini, yakni kasus Yugoslavia di bawah pemerintahan Josip Broz Tito dan kasus Polandia dalam periode 1944-1981. Di sini saya akan meringkas kasus Yugoslavia berdasarkan uraian Goran Music. Menurut Music, eksperimen sosialisme di Yugoslavia merupakan antitesa terhadap rezim Stalinis yang menyebabkan kelas buruh tetap tetap tertindas di bawah negara ’sosialis.’ Di bawah rezim Stalinis, model pembangunan yang ditempuh Uni Sovyet mengambil jalan, yang disebut Boris Kagarlitsky, sebagai statocracy. Menurut model ini, pembangunan disponsori dan digerakkan oleh negara yang bertumpu pada partai komunis Uni Sovyet (PKUS), yang menyebabkan kelas buruh mengalami represi yang keras, para intelektual kritis dan kalangan oposisi lainnya dibungkam dan diasingkan ke kamp konsentrasi Siberia (Pontoh, 2005).
Sebagai antitesanya, eksperimen sosialisme Yugoslavia mendasarkan aktivitasnya pada konsep ‘produksi komoditi sosialis/socialist commodity production.’ Berdasarkan konsep ini, maka unit-unit self-management harus bebas dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan ‘di luar pabrik,’ yang bisa mendistorsi distribusi hingga ke rantai terakhir. Namun demikian, pertukaran melalui pasar, yang berbasis pada hukum nilai, bersama-sama dengan kepemilikan kolektif, seharusnya menyediakan kriteria-kriteria obyektif bagi distribusi sosialis (p. 177). Intinya, kontrol buruh, partisipasi buruh, bahkan manajemen sendiri oleh buruh di tingkat perusahaan dijamin keberadaanya secara hukum di satu sisi, tapi ia beroperasi dalam kerangka mekanisme pasar kapitalis. Inilah yang kelak populer disebut sebagai pasar sosialis (market socialism) (p. 182).
Dalam perkembanganya, pemerintah kemudian memperkenalkan konsep ‘kepemilikan sosial/social property,’ sebagai ganti konsep kepemilikan pribadi/private property yang menjadi ciri khas kapitalisme. Melalui konsep ini, pekerja individu tidak lagi dilihat sebagai penerima upah (wage earner) dalam hubungannya dengan kapital atau negara, tetapi sebagai produser yang memiliki properti (property-owning producer) yang menerima bagian (share) dari pendapatan perusahaan. Hal ini kemudian berimplikasi pada pandangan bahwa dewan buruh (workers’ councils) tidak lain adalah wadah bagi para wiraswasta (collective entrepreneurs) seperti konsep stakeholder pada perusahaan-perusahaan kapitalis, ketimbang sebagai sebuah organ kontrol buruh terhadap manajemen.
Apa yang kemudian terjadi, walaupun sistem ekonomi Yugoslavia jauh dari cukup untuk disebut sebagai sistem ekonomi kapitalis, tapi aktivitas perusahaan sejatinya mengikuti logika kapital, yakni produksi untuk kepentingan pasar. Akibatnya, walaupun secara formal buruh dijamin hak-haknya, tapi dari hari ke hari pengaruh buruh dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan atau dalam masyarakan secara umum, sangatlah terbatas. Sebaliknya, kekuasaan manajemen menjadi semakin besar, karena buruh kemudian merasa bahwa mereka tidak memiliki cukup waktu, kompetensi, atau informasi untuk membuat keputusan di tengah-tengah pertumbuhan pasar yang semakin kompleks. Akibatnya, kepercayaan buruh terhadap dewan buruh semakin memudar, sementara model patron-klien, birokratisasi, dan eksploitasi semakin menjadi pemandangan sehari-hari. Dalam bahasa Music, ’kekecewaan buruh terhadap birokratisasi ekonomi Yugoslavia semakin meluas (p. 185).
Dalam skala lebih luas, dengan tingkat perkembangan ekonomi yang cepat pada tahun 1950an, telah memberikan momentum bagi struktur organisasi untuk membangun hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tindakan-tindakan liberalisasi. Koalisi liberal dalam pemerintahan kemudian menuntut adanya kebijakan otonomi yang lebih luas, desentralisasi, dan rangsangan (incentive) pasar, agar secara konsisten diterapkan dalam prinsip-prinsip produksi, seperti pada perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga ekonomi, asosiasi-asosiasi profesional, dan serikat buruh (p.180). Selanjutnya, muncul tuntutan agar kebijakan pembangunan semakin terintegrasi pada pembagian kerja internasional dan perjanjian-perjanjian dengan lembaga-lembaga keuangan Barat. Integrasi ekonomi ini menyebabkan barang-barang produksi Yugoslavia yang murah kemudian membanjiri pasar-pasar di Barat, dan sebaliknya agar barang-barang produk Yugoslavia bisa tetap diperjualbelikan di pasar Barat, maka Yugoslavia dipaksa untuk menandatangani perjanjian-perjanjian dagang internasional dan membuka dirinya pada pengaruh pasar global melalui pengurangan campur tangan negara dalam perdagangan internasional (p.180).
Hasil dari reformasi ekonomi ini, tampilan ekonomi Yugoslvia terus memburuk. Misalnya, antara tahun 1964 dan 1967, tahun dimana reformasi ekonomi mencapai puncaknya, rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun hanya sebesar 2.9 persen dibandingkan dengan pertumbuhan mendekati 10 persen pada tahun 1961 dan 1964, dan 12.7 persen antara tahun 1957 dan 1960. Pada 1965, tingkat pengangguran mencapai 8.8 persen, atau secara total sekitar 326,800 orang menganggur, meskipun ada kebijakan imigrasi ke Eropa Barat. Pada awal-awal penerapan ekonomi terencana (planned economy), perbedaan upah dipertahankan pada tingkat 1:3,5. Pada 1967, perbedaan tingkat upah itu melonjak menjadi 1:20, tergantung pada jenis industri atau perusahaan tertentu (p. 183).
Bercermin pada eksperimen Yugoslavia, maka benar yang dikatakan Patiño di atas, bahwa nasionalisasi ekonomi, bahkan oleh rejim sosialis/komunis sekalipun tidak sama dengan sosialisasi ekonomi yang dikontrol sepenuhnya oleh buruh secara demokratik. Eksperismen Yugoslavia dengan ekonomi pasar sosialisnya, yang semula ditujukan sebagai kritik atas model Stalinisme, pada akhirnya terjatuh dalam pusaran kapitalisme, lebih tepatnya dalam logika kapital. Ini juga yang melanda Cina saat ini, dimana rejim yang mengatasnamakan sosialisme/komunisme sebagai ideologi negara, dalam aktivitas ekonominya bekerja di bawah kontrol logika kapital.
'Shut It Down' by lmnop.
Catatan kritis
Maka di samping pentingnya kebutuhan untuk mendiskusikan dialektika hubungan buruh dengan serikat buruh dan partai atau negara sosialis/komunis, tak kalah penting adalah mendiskusikan bagaimana proses pengelolaan ekonomi itu berlangsung. Apakah tetap berada di bawah kontrol logika kapital atau melampaui logika kapital tersebut. Sayangnya, topik kedua inilah yang kurang mendapatkan porsi pembahasan dalam buku ini.
Memang buku ini menyajikan beragam cerita yang sangat kaya tentang kontrol buruh. Dari contoh-contoh itu, kita diberi tahu bahwa setiap kisah tentang ambil-alih-duduki-kontrol-dan-produksi oleh buruh sangat bersifat historis, terikat pada ruang-waktu, pengalaman perjuangan, kondisi-kondisi revolusioner tertentu yang tidak bisa diduplikasi apalagi direplikasi secara universal. Kasus pengambilahan dan pendudukan pabrik di Rusia, misalnya, begitu berbeda dengan kasus di Jerman, Italia, Spanyol, Argentina, atau Indonesia.
Namun demikian, sebegitu beragam dan luasnya cakupan buku ini tanpa adanya sebuah panduan teoritik yang solid dan komprehensif, bisa membawa pembaca pada kesimpulan bahwa ‘kontrol buruh dan pemerintahan buruh’ atau ‘demokratisasi dan sosialisasi alat-alat produksi’ adalah sebuah proyek yang utopis. Muncul paradoks, di satu sisi melalui contoh-contoh historis itu kita diyakinkan bahwa demokratisasi dan sosialisasi alat-alat produksi di bawah kontrol buruh bisa diwujudkan. Tetapi dari contoh-contoh itu juga, pada akhirnya bisa menggiring pembaca pada kesimpulan yang pesimistik: toh pada akhirnya eksperisme tersebut berujung gagal. Memang dalam buku ini, melalui artikel yang ditulis Victor Wallis, secara sepintas ditunjukkan kasus Kuba yang merupakan contoh sukses yang ideal mengenai kontrol buruh dalam perusahaan (p. 27). Ada juga contoh Venezuela yang ditulis Azzellini (p. 382-399), yang membuat kita bisa menjaga optimisme dari sekan banyak contoh tentang kegagalan.
Paradoks inilah yang tersisa dari buku yang wajib dibaca oleh para intelektual dan aktivis yang memiliki komitmen untuk menghapuskan sistem penindasan kapital sepenuh-penuhnya.
Penulis beredar di Twitterland dengan id @coenpontoh.
Bacaan penunjang:
Alfredo Saad-Filho, Anti-Capitalism A Marxist Introduction, Pluto Press, 2003.
Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Resist Book, 2005.
M.C. Howard and J.E. King, The Political Economy of Marx (second editions), New York University Press, 1985.
Rafael Enciso Patiño, A Multiple Socialist Administration Model and Enterprises of Social Property (ESP) in Venezuela – Success, Difficulties, Prospects, http://www.workerscontrol.net/activists/multiple-socialist-administratio..., diunduh pada 8/6/2012.
Related Links: